Perjuangan melawan rindu
Namaku elimas (sebut saja begitu), usiaku 21 tahun 5 bulan 1 Hari saat mulai menulis cerita ini, dan selama umurku itu aku jarang sekali tidur sendirian, jika dalam sebulan mungkin aku hanya akan tidur sendiri 1 kali dan saat kalian melakukan sesuatu hal yang di luar kebiasaan pasti rasanya today enak, aku pun begitu. Aku tidak bisa tidur sendirian.
Namaku elimas, aku anak terakhir dari empat bersaudara, katanya aku ini anak yang cukup manja, itu terbukti dengan jarangnya aku melakukan pekerjaan rumah, ah, aku memang bukan anak yang baik.
Saat umurku 18 tahun, kebahagiaan, kisah remaja yang indah dengan drama percintaan menggelikan atau mungkin memilukan, aku, tidak sempat mengalami hal itu. Saat itu statusku mahasiswi di salah satu universitas negeri di provinsi Banten. Tepat di akhir semester pertama, ibuku di vonis cancer nasofaring stadium II B.
Ah, ingin rasanya menceritakan bagaimana perjuangan kami melawan cancer, bagaimana kuatnya ibuku, betapa sabarnya ia, perjalanan tiga tahun jatuh bangun melawan cancer, hingga akhirnya 24 februari 2018 ibuku berpulang denga tersenyum, salaamun 'alaikum bima sobartum fani'ma uqbaddar. Baiklah, lain kali saja Kita bercerita tentang perjuangan kami melawan cancer, kali ini aku akan menceritakan perjuanganku melawan rindu, sepi.
kumpulan dunia lain
Minggu, 06 Mei 2018
Sabtu, 16 Juli 2016
gejala kanker nasofaring II
Assalamu'alaikum... ini adalah lanjutan dari gejala kanker nasofaring yang sebelumnya sudah saya bahas di http://aranabuana8.blogspot.co.id/2016/07/gejala-kanker-carsinoma-nasofaring.html?m=1
Here we go..!
Semua cara sudah dokter upayakan, tapi tidak ada penjelasan yang gamblang apalah penyakit ibu saya itu.
Akhirnya, dokter sp. Tht yang menangani ibu saya menyarankan untuk Ct-scan, diberilah surat rujukan ke Tht di RSUD.
Sampainya di RSUD, ibu tidak jadi di ct-scan, karena dokter Tht nya bilang telinga ibu saya tidak bermasalah (surat rujukannya setengah dibanting ke meja oleh dokter Tht di situ)
Di RSUD, telinga ibu saya hanya dibersihkan... kamipun pulang dengan tenang...
Semua di luar dugaan kami dan sepertinya dokter Tht di RSUD yang di mengatakan telinga ibu saya tidak apa-apa, juga salah menduga ;).
Semakin hari, sakit telinganya makin parah.
Dahak yang bercampur darah juga makin sering keluar.
Pun dengan mimisan yang tak mau ketinggalan
Hari-hari ibu lewati dengan rasa sakit telinga yang ia rasakan.
Sampai akhirnya ibu saya menyadari adanya benjolan di area leher. Tidak besar, tapi cukuplah buat kami merasa mulai takut.
Dibawalah ibu ke dokter umum (dokter yang menangani ibu saya dari perrrrtamaaaa sekali)
Kata dokter, benjolan itu tidak berbahaya (saya lupa bagaimana rinci nya dokter itu menjelaskan). Kamipun tenang lagi...
Sungguh Allah yang maha tau, sedangkan kami tidak.
Rasa sakit telinga makin menjadi, bahkan ibu saya sampai pingsan. Dan itu terjadi secara berulang.
Ibu pun di bawa ke sebuah klinik. Dokternya bilang, bisa saja rasa sakit telinga dan benjolan di leher itu berkaitan. Dan dengan mendengarkan riwayat ibu saya dari awal dokter itu bilang "mungkin benjolan dan rasa sakitnya itu berasal dari saraf" (saya sebagai orang awam tentunya bingung)
Pulang dari klinik, sekitar jam 11 siang, ibu minum obat yang dari klinik tadi, kemudian tidur.
Jam 3 sore, ibu saya merasa mual, kepala terasa keleyengan. Saya pikir apakah ini efek samping dari obat?
Setelah maghrib kondisi ibu tak kunjung membaik (semakin parah). Kami putuskan untuk bawa ibu ke klinik (faskes 1) menggunakan bpjs.
Sampai di klinik tersebut, ibu saya sudah sangat lemas karena muntah-muntah dan kepalaya pusing.
Saya bilang dengan dokternya, tadi ibu saya minum obat yang di kasih dokterdi klinik 'sana' (sambil memperlihatkan obatnya)
Saya lupa waktu itu dokternya periksa ibu saya dulu atau tidak, yang saya ingat dokter itu kasih resep berupa obat mual dan saya lupa satu lagi apa.
saya bingung, kok cuma dikasih obat beginian? Saya mau kejelasan kenapa ibu saya bisa begini.
Waktu itu klinik tersebut sedang sepi, dokter tadi meninggalkan ruangan periksa (gak tau kemana)
Saya bilang sama teteh-teteh perawat di situ "dokter nya kemana teh? Apa ibu saya ini gak perlu di rawat?" Saya maksa supaya ibu saya di beri rujukanke rumah sakit untuk rawat inap (karena sungguh, kondisinya sangat menghawatirkan)
setelah lama saya mendesak, kesana kemari minta bantuan, saya bilang saya yang lebih tau bagaimana kondisi ibu saya, ibu saya butuh opname. akhirnya dokter tadi mau kasih rujukan (mungkin terpaksa atau mungkin juga kasihan melihat ibu saya yang tergolek entah masih sadar atau tidak atau mungkin memang itulah yang harus ia lakukan sebagai dokter, entahlah saya hanya orang awam yang saat itu sungguh panik melihat ibu saya ). Perawat tadi yang menuliskan rujukannya.
Kami pergi ke rumah sakit, ke UGD.
Sementara ibu saya di UGD, saya daftar dengan menunjukkan fotokopi ktp, fotokopi bpjs, dan rujukan.
eng ing eng... kalian tau, ternyata rujukan tadi untuk dokter spesialis penyakit dalam haha lucu sekaliiiiii, lucunya adalah mana ada dokter sp. Penyakit dalam jam segitu (sudah jam setengah sepuluh malam)
dan cerobohnya saya tidak baca lagi itu rujukan.
saya kembali pusiaaang lagi dengan rujukan ini, karena pihak rumah sakit menolak, disuruh pulang dan kembali lagi besok karena dokter sp. Penyakit dalam adanya besok.
singkat cerita, akhirnya ibu saya bisa d rawat di kelas utama (bpjs naik kelas)
**bersambung...
Here we go..!
Semua cara sudah dokter upayakan, tapi tidak ada penjelasan yang gamblang apalah penyakit ibu saya itu.
Akhirnya, dokter sp. Tht yang menangani ibu saya menyarankan untuk Ct-scan, diberilah surat rujukan ke Tht di RSUD.
Sampainya di RSUD, ibu tidak jadi di ct-scan, karena dokter Tht nya bilang telinga ibu saya tidak bermasalah (surat rujukannya setengah dibanting ke meja oleh dokter Tht di situ)
Di RSUD, telinga ibu saya hanya dibersihkan... kamipun pulang dengan tenang...
Semua di luar dugaan kami dan sepertinya dokter Tht di RSUD yang di mengatakan telinga ibu saya tidak apa-apa, juga salah menduga ;).
Semakin hari, sakit telinganya makin parah.
Dahak yang bercampur darah juga makin sering keluar.
Pun dengan mimisan yang tak mau ketinggalan
Hari-hari ibu lewati dengan rasa sakit telinga yang ia rasakan.
Sampai akhirnya ibu saya menyadari adanya benjolan di area leher. Tidak besar, tapi cukuplah buat kami merasa mulai takut.
Dibawalah ibu ke dokter umum (dokter yang menangani ibu saya dari perrrrtamaaaa sekali)
Kata dokter, benjolan itu tidak berbahaya (saya lupa bagaimana rinci nya dokter itu menjelaskan). Kamipun tenang lagi...
Sungguh Allah yang maha tau, sedangkan kami tidak.
Rasa sakit telinga makin menjadi, bahkan ibu saya sampai pingsan. Dan itu terjadi secara berulang.
Ibu pun di bawa ke sebuah klinik. Dokternya bilang, bisa saja rasa sakit telinga dan benjolan di leher itu berkaitan. Dan dengan mendengarkan riwayat ibu saya dari awal dokter itu bilang "mungkin benjolan dan rasa sakitnya itu berasal dari saraf" (saya sebagai orang awam tentunya bingung)
Pulang dari klinik, sekitar jam 11 siang, ibu minum obat yang dari klinik tadi, kemudian tidur.
Jam 3 sore, ibu saya merasa mual, kepala terasa keleyengan. Saya pikir apakah ini efek samping dari obat?
Setelah maghrib kondisi ibu tak kunjung membaik (semakin parah). Kami putuskan untuk bawa ibu ke klinik (faskes 1) menggunakan bpjs.
Sampai di klinik tersebut, ibu saya sudah sangat lemas karena muntah-muntah dan kepalaya pusing.
Saya bilang dengan dokternya, tadi ibu saya minum obat yang di kasih dokterdi klinik 'sana' (sambil memperlihatkan obatnya)
Saya lupa waktu itu dokternya periksa ibu saya dulu atau tidak, yang saya ingat dokter itu kasih resep berupa obat mual dan saya lupa satu lagi apa.
saya bingung, kok cuma dikasih obat beginian? Saya mau kejelasan kenapa ibu saya bisa begini.
Waktu itu klinik tersebut sedang sepi, dokter tadi meninggalkan ruangan periksa (gak tau kemana)
Saya bilang sama teteh-teteh perawat di situ "dokter nya kemana teh? Apa ibu saya ini gak perlu di rawat?" Saya maksa supaya ibu saya di beri rujukanke rumah sakit untuk rawat inap (karena sungguh, kondisinya sangat menghawatirkan)
setelah lama saya mendesak, kesana kemari minta bantuan, saya bilang saya yang lebih tau bagaimana kondisi ibu saya, ibu saya butuh opname. akhirnya dokter tadi mau kasih rujukan (mungkin terpaksa atau mungkin juga kasihan melihat ibu saya yang tergolek entah masih sadar atau tidak atau mungkin memang itulah yang harus ia lakukan sebagai dokter, entahlah saya hanya orang awam yang saat itu sungguh panik melihat ibu saya ). Perawat tadi yang menuliskan rujukannya.
Kami pergi ke rumah sakit, ke UGD.
Sementara ibu saya di UGD, saya daftar dengan menunjukkan fotokopi ktp, fotokopi bpjs, dan rujukan.
eng ing eng... kalian tau, ternyata rujukan tadi untuk dokter spesialis penyakit dalam haha lucu sekaliiiiii, lucunya adalah mana ada dokter sp. Penyakit dalam jam segitu (sudah jam setengah sepuluh malam)
dan cerobohnya saya tidak baca lagi itu rujukan.
saya kembali pusiaaang lagi dengan rujukan ini, karena pihak rumah sakit menolak, disuruh pulang dan kembali lagi besok karena dokter sp. Penyakit dalam adanya besok.
singkat cerita, akhirnya ibu saya bisa d rawat di kelas utama (bpjs naik kelas)
**bersambung...
ikhlas menerima kanker
Kanker, nama penyakit yang tak pernah terbayangkan sebelumnya ia akan menghampiri keluarga kami, apalagi harus ibu kami yang jadi pemeran utamanya. Tidak!. Tidak pernah...
Sudah hampir satu tahun ibu kami berjuang melawan kanker nasofaring. Sudah hampir satu tahun juga masa-masa menyakitkan, masa-masa membingungkan, masa-masa menyesakan dan menakutkan itu kami (aku, 1 kakak laki-lakiku, 2 kakak perempuanku, bapakku dan yang pasti ibuku) lewati bersama tapi entah kenapa semua rasa itu masih komplit tersimpan. Contohnya seperti sekarang ini, saat saya mulai menulis dengan niat berbagi cerita, rasanya sesak sekali karena harus mengingat lebih detail ke waktu itu. Tapi rasa yang tidak mengenakan itu harus di lawan.
Untuk semua pejuang kanker (saya sangat setuju, penderita kanker itu memang layak disebut 'pejuang' karena mereka memang benar-benar berjuang untuk sembuh) yang ada dimanapun kalian berada, kalian sungguh kuat. Kalian adalah orang-orang pilihan yang Allah pilih untuk Allah uji kesabarannya. Kalian orang-orang luarbiasa yang bahkan masih bisa tertawa lepas seperti tanpa beban padahal sungguh saya tau bagaimana beratnya menjadi pejuang kanker. Semoga sakit yang para pejuang kanker rasakan bisa jadi penawar dosa dan menjadi jalan manggapai ridho Allah untuk menjadi penghuni surga-Nya. Amiinn...
terakhir, untuk ibuku aku mencintaimu karna Allah. Semoga cepat sembuh ;) aku akan selalu disampingmu... insya Allah
Sudah hampir satu tahun ibu kami berjuang melawan kanker nasofaring. Sudah hampir satu tahun juga masa-masa menyakitkan, masa-masa membingungkan, masa-masa menyesakan dan menakutkan itu kami (aku, 1 kakak laki-lakiku, 2 kakak perempuanku, bapakku dan yang pasti ibuku) lewati bersama tapi entah kenapa semua rasa itu masih komplit tersimpan. Contohnya seperti sekarang ini, saat saya mulai menulis dengan niat berbagi cerita, rasanya sesak sekali karena harus mengingat lebih detail ke waktu itu. Tapi rasa yang tidak mengenakan itu harus di lawan.
Untuk semua pejuang kanker (saya sangat setuju, penderita kanker itu memang layak disebut 'pejuang' karena mereka memang benar-benar berjuang untuk sembuh) yang ada dimanapun kalian berada, kalian sungguh kuat. Kalian adalah orang-orang pilihan yang Allah pilih untuk Allah uji kesabarannya. Kalian orang-orang luarbiasa yang bahkan masih bisa tertawa lepas seperti tanpa beban padahal sungguh saya tau bagaimana beratnya menjadi pejuang kanker. Semoga sakit yang para pejuang kanker rasakan bisa jadi penawar dosa dan menjadi jalan manggapai ridho Allah untuk menjadi penghuni surga-Nya. Amiinn...
terakhir, untuk ibuku aku mencintaimu karna Allah. Semoga cepat sembuh ;) aku akan selalu disampingmu... insya Allah
Jadi inget kejadian beberapa bulan yang lalu, waktu itu saya lagi pusing nyari obat anti nyeri yg diresepkan dokter gak nemu2. Trs niat istirahat sebentar d lobi RS, sambil mikir harus ke RS mana lagi nyari itu obat, eh baru juga duduk tiba2 datang sepasang suami istri yang duduk persis di samping saya, awalnya sy tdk merasa trganggu, yah namanya juga fasilitas umum siapa saja bisa duduk disitu, tapi mereka sedang cekcok dan percekcokan mereka yang makin lama rasanya makin ganggu istirahat sy, eh pas saya mau pergi (karena merasa terganggu) tiba2 istri dari pasutri tadi ngelirik k arah saya dan nanya begini
Istri : dek, kamu udah nikah...?
Saya : belum
Istri : kalau kamu udah nikah, kamu mau punya anak berapa?
Saya : sebelas mungkin cukup (jawaban saya ngasal biar cepet)
Istri : eh? (Tampak bingung) serius? gak 12 aja dek biar pas satu lusin? (Sambil nahan ketawa)
Saya : buat apa punya satu atau dua orang anak kalau sebagi ibu masih sanggup mendidik dengan didikan terbaik pada 7, 8, 9, bahkan 11 orang anak atau satu lusin sekalipun (dalam hati saya juga bingung kenapa jawab begitu. Mungkin efek pusing nyari obat)
Suami dari pasutri yang dari tadi hanya mendengar saya dan istrinya bicara pun ikut nimbrung.
Suami : wahh hebat... kamu harus nyari suami yang kaya tuh biar kebutuhan anak-anak mu bisa terpenuhi. Sekarang, biaya apa-apa mahal loh.
Saya : maaf, mas dan mbak, saya tidak meragukan kasih sayang Tuhan saya yang Maha kaya. Yang penting suami saya mau terus berikhtiar dan saya mampu mengelola keuangan.
(Pasutri itu tampak bingung dengan yang saya ucapkan, pun sama bingungnya dengan saya kenapa harus jawab begitu, tadinya mau cepet malah jadi lamaaa)
Saya : maaf saya lagi buru-buru. Permisi...
Saat saya jalan keluar, dengan suara yang agak ditinggika (supaya sy yang sudah berada lumayan jauh dari kursi yang ia duduki mendengar)
Istri : sukses program punya anak 11 nya yah...
Saya melirik sebentar sambil tersenyum, terlihat pasutri itu tertawa padahal tadikan mereka lagi cekcok (saya tidak tau mereka cekcok karena apa, 'mungkin' masalah mau punya anak berapa...)
(Saya tidak begitu yakin bisa melakukan apa yang saya katakan saat itu, karena jawaban yang saya ucapkan pada waktu itu hanya sebuah spontanitas saja)
Jumat, 15 Juli 2016
penyemangat para pejuang kanker
Saya percaya, keinginan untuk sembuh yang kuat dari pasien adalah kunci kesuksesan paling utama dalam sebuah pengobatan.
Setiap hari (kecuali sabtu dan minggu) saya menemani ibu saya (pejuang karsinoma nasofarig) selama 2 bulan untuk radioterapi. Dan entah sudah berapa bulan saya pulang-pergi rumah sakit.
Setiap mengantar ibu saya ke rumah sakit, sambil menunggu panggilan, daripada bengong atau main hp, biasanya saya akan mengajak orang yang di dekat saya ngobrol (kebanyakan pejuang kanker), dan dari obrolan-obrolan kecil itu tak terhitung lagi sudah berapa banyak cerita yang membuat saya berdecak kagum tentang bagaimana mereka bisa bertahan, tentang bagaimana mereka bisa ikhlas dengan keadaan yang sungguh tidak mengenakan. Mereka (pejuang kanker) masih bisa tertawa, seolah tidak ada beban.
Sesekali saya melihat ada salah satu pejuang kanker yang sedang menangis terisak menahan sakit, tapi setelah hilang sakitnya (minum obat anti nyeri) dia sudah bisa tersenyum lagi, pun seperti tidak ada beban. Hanya saja wajah mereka yang damai terlihat pucat pasi.
Baiklah, kembali k awal tentang "keinginan untuk sembuh yang kuat dari pasien adalah kunci kesuksesan paling utama dalam sebuah pengobatan" yang artinya semangat pasien tidak boleh menurun. Yang jadi pertanyaannya adalah bagaimana caranya pasien bisa terus semangat?, saya yakin, hal yang bisa membuat semangat pasien tidak menurun adalah suport nyata dari orang-orang terdekat...
"rasa bahagia yang mampu membuat seseorang bertahan"
Setiap hari (kecuali sabtu dan minggu) saya menemani ibu saya (pejuang karsinoma nasofarig) selama 2 bulan untuk radioterapi. Dan entah sudah berapa bulan saya pulang-pergi rumah sakit.
Setiap mengantar ibu saya ke rumah sakit, sambil menunggu panggilan, daripada bengong atau main hp, biasanya saya akan mengajak orang yang di dekat saya ngobrol (kebanyakan pejuang kanker), dan dari obrolan-obrolan kecil itu tak terhitung lagi sudah berapa banyak cerita yang membuat saya berdecak kagum tentang bagaimana mereka bisa bertahan, tentang bagaimana mereka bisa ikhlas dengan keadaan yang sungguh tidak mengenakan. Mereka (pejuang kanker) masih bisa tertawa, seolah tidak ada beban.
Sesekali saya melihat ada salah satu pejuang kanker yang sedang menangis terisak menahan sakit, tapi setelah hilang sakitnya (minum obat anti nyeri) dia sudah bisa tersenyum lagi, pun seperti tidak ada beban. Hanya saja wajah mereka yang damai terlihat pucat pasi.
Baiklah, kembali k awal tentang "keinginan untuk sembuh yang kuat dari pasien adalah kunci kesuksesan paling utama dalam sebuah pengobatan" yang artinya semangat pasien tidak boleh menurun. Yang jadi pertanyaannya adalah bagaimana caranya pasien bisa terus semangat?, saya yakin, hal yang bisa membuat semangat pasien tidak menurun adalah suport nyata dari orang-orang terdekat...
"rasa bahagia yang mampu membuat seseorang bertahan"
Rabu, 13 Juli 2016
Curahan hati di waktu duha
Curahan hati di waktu duha
Kamis, 14 juli 2016. Setelah shalat duha pagi ini, seperti biasa langsung disambung dengan wirid dan do'a, namun di akhir do'a, secara spontan saya berdo'a tentang urusan perasaan saya hahaa. Mulai berpikir siapakah jodoh saya. Saya berdo'a dengan penuh pengharapan (sedikit lebay. Wkkwkk) saiapapun jodoh saya, dia adalah orang yang mencintai-Mu lebih dari apapun. Dan untuk hatiku, aku ingin mencintainya setelah ijab diucapkan dan para saksi menyebutkan 'sah', karena aku takut ada perasaan cinta yang sudah terkontaminasi oleh nafsu (hahaaa apaan?). Aku ingin benar-benar mencintai 'dia' karena-Mu. Amiin
Walaupun ini curhatan lebay, tapi serius... :D
Kamis, 14 juli 2016. Setelah shalat duha pagi ini, seperti biasa langsung disambung dengan wirid dan do'a, namun di akhir do'a, secara spontan saya berdo'a tentang urusan perasaan saya hahaa. Mulai berpikir siapakah jodoh saya. Saya berdo'a dengan penuh pengharapan (sedikit lebay. Wkkwkk) saiapapun jodoh saya, dia adalah orang yang mencintai-Mu lebih dari apapun. Dan untuk hatiku, aku ingin mencintainya setelah ijab diucapkan dan para saksi menyebutkan 'sah', karena aku takut ada perasaan cinta yang sudah terkontaminasi oleh nafsu (hahaaa apaan?). Aku ingin benar-benar mencintai 'dia' karena-Mu. Amiin
Walaupun ini curhatan lebay, tapi serius... :D
sahabat baru plus keluarga baru
Cerita ini bisa jadi sangat berantakan... wkkk
Pas chatting sama temen yang kuliah di purwokerto dan yang satunya lagi kuliah di bandung (ibunya asli brebes) gak tau darimana mulainya tiba-tiba ngomongnya kita jadi ngapak. Ehh... kalau ngomong ngapak itu jadi kangen mboke (sahabat sekaligus keluarga baru waktu sama-sama berjuang di bandung) yang kalau lagi ngobrol tanpa dia sadari dia udah ngomong jawa (beliau asal banyumas dan saya asli sunda), saya ngerti sih beliau ngomong apa (kalau ngomongnya sedikit dan pelan-pelan) tapi saya suka bilang 'mboke jangan pake bahasa jawa dong' (karena kalau beliau ngomongnya cepet dan panjang saya pusing juga).
Baiklah, karena lagi kangen sama mboke saya mau menceritakan kedekatan kita selama dibandung dan juga beberapa cerita yang membuat saya kagum terhadap beliau. Dan saya tidak akan menceritakan dua teman yang saya sebutkan di awal. Heheee
Sebelumnya, mboke ini usianya 51 tahun dengan anak kandung 3 orang dan anak tiri 7 orang (kalau saya tidak lupa). Di Bandung, mboke mengantar dan merawat suaminya (sama perti saya yang mengantar dan merawat ibu saya) yang saat itu berjuang melawan karsinoma nasofaring. Di tempat kost, kamar beliau no 4 dan saya no 3, kamar kami yang sebelahan membuat kami sering ketemu dan karena saya lebih suka masak makanan sendiri daripada beli pun begitu dengan mboke membuat kami sering masak bareng, makin akrablah kami walaupun beda usia kami jauhhhhhh sekali, tapi ya begitulah karena beliau orangnya asik dan bisa membuat saya nyaman, dengan tidak mengurangi rasa hormat saya, beliau sudah seperti sahabat baru juga keluarga baru bagi saya.
Saking dekatnya dengan mboke, saya tak segan lagi mengajak beliau ke pasar atau ke salah satu super market terdekat. Tapi kalau kita lagi belanja kadang kita suka keasyikan hehe sampe lupa kalau ada yang lagi sakit sendirian dikamar masing-masing... kalau lagi belanja, kita suka gak sadar jalan ke tempat diskon sepatu atau tas atau lihat-lihat bajulaj inilah itulah, padahal tujuan awalnya cuma beli madu atau susu aja.
Biasanya setelah shalat isya kita akan duduk d kursi dapur sambil makan mie atau makan camilan, terus ngobrol dehhhh... awalnya saya heran, kenapa mboke itu kalau cerita sedih, mau itu cerita dia atau cerita keluarganya atau cerita tentang tetangganya sekalipun pasti beliau nangis. Saya berasumsi mungkin beliau begitu karena ada banyak kejadian yang luarbiasa menyedihkan yang sering menghampiri, seperti kejadian suaminya yang di usia 38 tahun meninggal akibat tersengat listrik, juga ada 2 orang yang beliau sayang meninggal dunia setelah kurang dari 1 bulan suaminya meninggal.
Ngomong-ngomong, mboke ini pernah jadi janda (seperti yang sudah saya sebutkan sebelumnya, suami mboke meninggal diusia 38 tahun). Saat suaminya meninggal, beliau menjadi ibu sekaligus ayah untuk ke tiga anaknya. Mboke harus bekerja sendiri demi menghidui anak-anaknya, kerja banting tulang tak kenal lelah. Mboke kerja di sawah milik orang, berangkat jam 6 pagi pulang dzuhur untuk shalat dzuhur dan kembali pergi ke sawah untuk bekerja sampai ashar. Jika sedang ada orderan menjahit, mboke akan mengerjakannya sampai malam hari. Mboke bilang ia juga merasa capek harus bekerja keras seperti itu, tapi rasa capeknya hilang begitu saja saat melihat senyum anak-anaknya...
Selama jadi janda, mboke tidak pernah berpikir untuk menikah lagi walaupun status janda kadang membuatnya serba salah karena takut dituduh menggoda suami orang (image sebagai janda memang kadang-kadang ribet). Sambil menangis beliau bilang, sekuat tenaga saya menjaga diri saya dari fitnahan orang. Padahal tidak pernah ada yang sangat mboke pikirkan lagi selain anak-anaknya, tentang bagaimana caranya anaknya bisa tumbuh membanggakan.
Setelah menjanda bertahun-tahun (ke 3 anak mbok sudah tumbuh dewasa, yang paling kecil saja sudah duduk di kelas 11 SMA), di suatu sore saat keundangan, bertemulah mboke dengan pak Suparno (almarhum) yang akhirnya setelah saling mengenal lama mboke menikah lagi dengan pak Parno itu, awalnya mbok tetap pada pendiriannya untuk tidak menikah lagi, tapi karena usaha Pak Parno yang luarbiasa hehee akhirnya hati mbok lulub juga oleh pak Parno yang adalah guru SD dari ke 3 anak-anaknya.
Setelah mboke menikah lagi, kehidupan mbok berubah. Adanya suami yang bertanggungjawab atas hidupnya dan keluarganya membuat mbok tidak harus lagi kerja banting tulang seperti dulu (ditambah lagi ke 3 anaknya sudah besar).
Saya lupa pada usia berapa tahun pernikahannya mbok dengan pak Parno, pak Parno jatuh sakit (mengidap kanker nasofaring), berbulan-bulan mbok setia mengurus pak parno dan terakhir saat pengobatan radioterapi di Bandung (yang mmempertemukan kami). Saya tau persis bagaimana perjuangan mbok, salah satunya bangun jam 3 pagi untuk menaruh tanda pada barisan antrian di RSHS dan masih banyak perjuangan mbok lainnya...
Terakhir, yang paling penting adalah mboke orang yang kuat juga hebat, tidak peduli seberapa seringnya beliau menangis terisak saat bercerita atau saat beliau berdo'a (yang saya lihat kalau beliau berdo'a, baik untuknya atau untuk orang lain pasti menangis) justru "tangisannya itu adalah bukti betapa kokoh jiwanya". Dia boleh jadi cenderung cengeng, tapi mbok tidak pernah mengeluh, sedikit pun tidak, karena hatinya begitu sabar pun kuat, dan tidak akan pernah rapuh selama mboke yakin bahwa Allah selalu bersamanya.
Semoga kita bisa ketemu lagi mboke... lop yuuu hahaaa
Pas chatting sama temen yang kuliah di purwokerto dan yang satunya lagi kuliah di bandung (ibunya asli brebes) gak tau darimana mulainya tiba-tiba ngomongnya kita jadi ngapak. Ehh... kalau ngomong ngapak itu jadi kangen mboke (sahabat sekaligus keluarga baru waktu sama-sama berjuang di bandung) yang kalau lagi ngobrol tanpa dia sadari dia udah ngomong jawa (beliau asal banyumas dan saya asli sunda), saya ngerti sih beliau ngomong apa (kalau ngomongnya sedikit dan pelan-pelan) tapi saya suka bilang 'mboke jangan pake bahasa jawa dong' (karena kalau beliau ngomongnya cepet dan panjang saya pusing juga).
Baiklah, karena lagi kangen sama mboke saya mau menceritakan kedekatan kita selama dibandung dan juga beberapa cerita yang membuat saya kagum terhadap beliau. Dan saya tidak akan menceritakan dua teman yang saya sebutkan di awal. Heheee
Sebelumnya, mboke ini usianya 51 tahun dengan anak kandung 3 orang dan anak tiri 7 orang (kalau saya tidak lupa). Di Bandung, mboke mengantar dan merawat suaminya (sama perti saya yang mengantar dan merawat ibu saya) yang saat itu berjuang melawan karsinoma nasofaring. Di tempat kost, kamar beliau no 4 dan saya no 3, kamar kami yang sebelahan membuat kami sering ketemu dan karena saya lebih suka masak makanan sendiri daripada beli pun begitu dengan mboke membuat kami sering masak bareng, makin akrablah kami walaupun beda usia kami jauhhhhhh sekali, tapi ya begitulah karena beliau orangnya asik dan bisa membuat saya nyaman, dengan tidak mengurangi rasa hormat saya, beliau sudah seperti sahabat baru juga keluarga baru bagi saya.
Saking dekatnya dengan mboke, saya tak segan lagi mengajak beliau ke pasar atau ke salah satu super market terdekat. Tapi kalau kita lagi belanja kadang kita suka keasyikan hehe sampe lupa kalau ada yang lagi sakit sendirian dikamar masing-masing... kalau lagi belanja, kita suka gak sadar jalan ke tempat diskon sepatu atau tas atau lihat-lihat bajulaj inilah itulah, padahal tujuan awalnya cuma beli madu atau susu aja.
Biasanya setelah shalat isya kita akan duduk d kursi dapur sambil makan mie atau makan camilan, terus ngobrol dehhhh... awalnya saya heran, kenapa mboke itu kalau cerita sedih, mau itu cerita dia atau cerita keluarganya atau cerita tentang tetangganya sekalipun pasti beliau nangis. Saya berasumsi mungkin beliau begitu karena ada banyak kejadian yang luarbiasa menyedihkan yang sering menghampiri, seperti kejadian suaminya yang di usia 38 tahun meninggal akibat tersengat listrik, juga ada 2 orang yang beliau sayang meninggal dunia setelah kurang dari 1 bulan suaminya meninggal.
Ngomong-ngomong, mboke ini pernah jadi janda (seperti yang sudah saya sebutkan sebelumnya, suami mboke meninggal diusia 38 tahun). Saat suaminya meninggal, beliau menjadi ibu sekaligus ayah untuk ke tiga anaknya. Mboke harus bekerja sendiri demi menghidui anak-anaknya, kerja banting tulang tak kenal lelah. Mboke kerja di sawah milik orang, berangkat jam 6 pagi pulang dzuhur untuk shalat dzuhur dan kembali pergi ke sawah untuk bekerja sampai ashar. Jika sedang ada orderan menjahit, mboke akan mengerjakannya sampai malam hari. Mboke bilang ia juga merasa capek harus bekerja keras seperti itu, tapi rasa capeknya hilang begitu saja saat melihat senyum anak-anaknya...
Selama jadi janda, mboke tidak pernah berpikir untuk menikah lagi walaupun status janda kadang membuatnya serba salah karena takut dituduh menggoda suami orang (image sebagai janda memang kadang-kadang ribet). Sambil menangis beliau bilang, sekuat tenaga saya menjaga diri saya dari fitnahan orang. Padahal tidak pernah ada yang sangat mboke pikirkan lagi selain anak-anaknya, tentang bagaimana caranya anaknya bisa tumbuh membanggakan.
Setelah menjanda bertahun-tahun (ke 3 anak mbok sudah tumbuh dewasa, yang paling kecil saja sudah duduk di kelas 11 SMA), di suatu sore saat keundangan, bertemulah mboke dengan pak Suparno (almarhum) yang akhirnya setelah saling mengenal lama mboke menikah lagi dengan pak Parno itu, awalnya mbok tetap pada pendiriannya untuk tidak menikah lagi, tapi karena usaha Pak Parno yang luarbiasa hehee akhirnya hati mbok lulub juga oleh pak Parno yang adalah guru SD dari ke 3 anak-anaknya.
Setelah mboke menikah lagi, kehidupan mbok berubah. Adanya suami yang bertanggungjawab atas hidupnya dan keluarganya membuat mbok tidak harus lagi kerja banting tulang seperti dulu (ditambah lagi ke 3 anaknya sudah besar).
Saya lupa pada usia berapa tahun pernikahannya mbok dengan pak Parno, pak Parno jatuh sakit (mengidap kanker nasofaring), berbulan-bulan mbok setia mengurus pak parno dan terakhir saat pengobatan radioterapi di Bandung (yang mmempertemukan kami). Saya tau persis bagaimana perjuangan mbok, salah satunya bangun jam 3 pagi untuk menaruh tanda pada barisan antrian di RSHS dan masih banyak perjuangan mbok lainnya...
Terakhir, yang paling penting adalah mboke orang yang kuat juga hebat, tidak peduli seberapa seringnya beliau menangis terisak saat bercerita atau saat beliau berdo'a (yang saya lihat kalau beliau berdo'a, baik untuknya atau untuk orang lain pasti menangis) justru "tangisannya itu adalah bukti betapa kokoh jiwanya". Dia boleh jadi cenderung cengeng, tapi mbok tidak pernah mengeluh, sedikit pun tidak, karena hatinya begitu sabar pun kuat, dan tidak akan pernah rapuh selama mboke yakin bahwa Allah selalu bersamanya.
Semoga kita bisa ketemu lagi mboke... lop yuuu hahaaa
Langganan:
Komentar (Atom)